Rabu, 20 Agustus 2008

Memakai baju orang lain

Pemikiran dari Samuel Mulya

Bagi saya, Hari Minggu terasa bukan seperti Hari Minggu jika tidak dilewatkan dengan membaca KOMPAS Minggu dan berbaring di kasur mendengarkan keroncong dari radio Wijaya. Hidup terasa nikmat, gayeng dalam istilah B. Jawa, dan seluruh kepenatan setelah sepekan bekerja terobati.

Ketika saya membaca KOMPAS, kolom Parodi dari Samuel Mulya merupakan bacaan pertama yang hampir selalu saya sikat dulu... Samuel Mulya, walaupun terkadang menulisnya vulgar, dia membukakan mata hati dan pikiran saya pada hal-hal yang ada disekitar saya tetapi tidak pernah saya perhatikan melalui parodinya... Salah satunya adalah episode yang saya simpulkan dengan judul "Memakai baju orang lain"... judul resmi di KOMPAS saya sudah lupa...

Samuel menuliskan kita sering sekali menggunakan identitas perusahaan tempat kita bekerja, ketika kita diminta identitas kita. Misalnya saja, Amir dari Bank Ding Dung (sebuah Bank International TOP dunia), bahkan membuat publik email address dengan identitas perusahaannya, amir_dingdung@yahoo.com. Jika seseorang tidak bekerja pada perusahaan-perusahaan berkelas, dia bahkan menggunakan identitas bosnya.

Saya pun memiliki pengalaman pribadi yang membuat saya teringat akan parodi Samuel Mulya ini. Suatu hari saya menulis email kepada ahli Statistik di Jawa Timur. Bapak yang baik hati ini, menjawab email saya dan mengatakan bahwa beliau sedang merencanakan untuk membuat blog tentang belajar statistik dan menjawab beberapa pertanyaan saya yang lain dengan men-cc-kan ke salah seorang anak buahnya yang lebih paham akan jawaban dari pertanyaan teknis itu. Sayapun membalas email beliau, dan mengatakan jika diperbolehkan suatu hari nanti saya ingin menyumbang tulisan di blog beliau. Kali ini saya mendapatkan jawaban dari sang anak buah, dan dia menuliskan, bahwa kalau saya mau menyumbang tulisan saya harus mendapatkan ijin dari beliau... Tentu saja saya tersenyum dengan jawaban seperti ini, si empunya blog tidak melarang saya menyumbang tulisan, tetapi si anak buah memberi saya peringatan bahwa "harus ada ijin khusus"...

Ketika kita berhadapan dengan orang-orang yang memakai baju orang lain, seringkali mereka ini lebih "kejam" daripada para bos, menunjukkan dirinya lebih "berkuasa" dari si bos dan merasa dirinya "mengetahui semua aturan" dalam perusahaan. Bahkan, kemarin saya merasa sangat jengkel dan putus saya ketika harus menghadapi seorang sekretaris yang menggunakan baju orang lain ini... Semua pertanyaan saya dijawabnya "TIDAK BISA" ... Saya seperti menghadapi tembok yang memantulkan semua bola yang saya lemparkan kembali ke diri saya sendiri.

Saya masih merasa lega dengan apa yang saya hadapi akhir-akhir ini, karena ada yang lebih dahsyat lagi daripada sekedar memakai baju perusahaan ataupun memakai baju si bos. Yang lebih dahsyat lagi adalah bila kita memakai baju "Tuhan". Bukankah seringkali kita menghakimi orang lain dengan mengatakan melakukan ini dan itu berdosa ? Merokok haram, membaca buku ini dilarang karena buku ini melanggar hukum agama dan merusak keimanan kita ! Siapa sih yang seharusnya menentukan ini dosa atau itu haram atau membaca buku S akan merusak keimanan kita ? Apakah kita tidak memakai baju "Tuhan" ketika kita mengatakan tentang hal itu ?

Samuel Mulya, memberikan kearifan tersendiri dalam tulisannya itu. Suatu saat baju itu akan usang, dan dia akan digantikan dengan baju yang baru atau dibuang. Ketika identitas yang kita gunakan itu hilang, bisakah kita berdiri sendiri sebagai seorang pribadi mandiri yang memakai baju kita sendiri ?

Tidak ada komentar: