Rabu, 31 Desember 2008

Three Bags Full - A Sheep Detective Story

Leonie Swann

Pada suatu pagi yang cerah, sekumpulan domba menemukan gembala mereka, George, tergeletak tak bernyawa. Tubuhnya ditikam dengan sekop di padang gembalaanya. Kawanan domba ini, bukanlah kawanan domba biasa. Mereka adalah kawanan domba yang cerdik, setiap malam semasa hidupnya George selalu membacakan buku-buku untuk mereka. Aneka kisah dari buku telah mereka dengarkan, dari roman, detektif hingga obat-obatan. Karena itu tak mengherankan jika mereka mempertanyakan bagaimana mungkin George yang kemarin mereka temui sehat saat ini membujur kaku tak bernafas ? Siapa yang membunuhnya ? Mengapa dia dibunuh ?

Miss Maple, domba tercerdik di antara kawanan itu, atau bahkan di dunia ini, memimpin kawan-kawannya untuk melakukan penyelidikan terhadap pembunuhan gembala mereka. Ini adalah plot dari buku "Three Bags Full". Namun, melalui sudut pandang para domba ini, Leonie Swann, yang berlatar belakang pendidikan philosophy, psikologi dan sastra Inggris , menebarkan pertanyaan-pertanyaan philosophical secara jenaka dan ringan.

Salah satu petikan percakapan yang menggelitik terjadi ketika Kate, istri George, dan Pak Pendeta (a black-clad man with a stiff collar round his neck and a strikingly long nose) datang mengunjungi padang gembalaan itu keesokan harinya. Kate mengaku pada Pak Pendeta, bahwa George memang orang yang sulit dimengerti. Pak Pendeta menimpali, ya memang George bukanlah orang yang mudah bergaul, dia adalah jiwa yang terhilang, anak domba yang tersesat (he was a lost soul, a lamb go astray), tetapi Tuhan (the Lord) yang maha pengampun telah memanggilnya pulang ke rumahNya. Lalu, Pak Pendeta mengatakan, domba-domba ini akan diberikan kepada siapa ? Kepada Ham si penjual daging ? Kate tak setuju, domba-domba ini tak membutuhkan siapa-siapa, katanya. Pak Pendeta mengatakan domba membutuhkan gembala. Tapi Ham bukanlah gembala yang baik, dia tak akan merawat (care) domba-domba ini, kata Kate. Ada banyak cara untuk menaruh perhatian (caring) pada seseorang dengan kasih (love) atau dengan kekerasan (rigor), dengan kata-kata (word) atau dengan pedang (sword), begitulah sabda Tuhan (Lord), kata Pak Pendeta. Namun Kate tetap tak menghendaki domba-domba ini diberikan pada Ham. Mendengar hal ini, domba-domba yang semula ketakutan mendengar kalimat "diberikan kepada penjual daging (the butcher)" disebut, menjadi tenang kembali. Ketika mereka hendak pulang, Pak Pendeta memberikan penghiburan pada Kate, tabahlah nak katanya, dan dia mengambil 1 ayat dari Mazmur 23: Tuhan adalah Gembalaku, tak akan kekurangan aku (The Lord is my shepherd, I shall not want...), dan pulanglah mereka berdua....

Setelah itu, para domba yang mendengar seluruh percakapan tadi menjadi bingung, siapakah Tuhan ini (who is the Lord ?). Othello, salah satu dari mereka mengatakan "aku tak mau the lord dari orang itu menjadi gembalaku" (I wouldn't want that lord of his to be my shepherd). Ya, timpal yang lain. Lagian, George bukanlah anak domba (George was not a lamb), kata Heather, siapa sih pria itu ? Kelihatannya dia tak suka dengan George, aku tak suka dengan pria itu dan juga dengan "pria" yang lain, "the lord" yang sering disebut-sebut tadi. Jangan-jangan "the lord" ini yang membunuh George, dia membawa George ke rumahnya, pertama-tama mereka bertengkar dengan kata-kata (words) lalu menggunakan pedang (sword), hanya karena pedang tak ada ditangan maka yang digunakan adalah sekop. Siapa the lord ini ? Seekor domba mengatakan, oh, dia adalah anak domba (He is a lamb), tapi yang lain langsung protes, bukan dia adalah seorang gembala (He is a shepherd). Lalu siapakah pria itu tadi ? Mopple, domba yang lain, mengatakan, aku ingat dia. Suatu hari ketika aku masih anak domba, aku dibawa George ke rumah orang itu dan ketika sampai di sana, dia mengatakan selamat datang di rumah Tuhan (welcome to the house of God). Jadi dia itu adalah "God", demikian kesimpulan Mopple dan para domba yang lain tentu menyetujuinya. Tak mudah memahami manusia kata mereka, apakah mereka punya jiwa ? Tentu saja tidak, kata para domba itu, mereka tak punya 4 kaki seperti kita......

Percakapan-percakapan ini terasa lucu dan janggal, suatu yang lazim jika dipandang oleh manusia terasa aneh jika seolah-olah domba yang memikirkan. Bukankah, sesuatu yang lazim buat kita juga tak lazim buat orang lain ? Seringkali kita beranggapan bahwa orang lain harus berpandangan sama seperti kita bukan ? dan jika dia berbeda dari kita, kita menganggap dia aneh.

Membaca buku ini juga membuat kita merenung, bagaimanakah hidup ini jika kita ditinggal oleh "Gembala" kita ? Merenung dari percakapan-percakapan yang diutarakan oleh para domba, merasakan ketakutan para domba terhadap musuh-musuh mereka.

Beberapa renungan menarik teringkas di sini. Salah satu renungan itu tersirat pada satu penggalan cerita ketika dalam misi penyelidikan kematian George, Othello pergi ke gereja (the house of God). Saat dia akan memasuki pintu gereja itu, Othello ragu untuk melangkah. Ada satu kalimat yang terngiang-ngiang di telinganya. Dalam hidup ini selalu ada dua jalan: jalan untuk masuk dan jalan untuk kembali (The way to go in and the way to go back) dan jalan untuk kembali selalu lebih penting (The way to go back is always more important). Yah, kemanapun kaki ini melangkah, bukankah jalan untuk pulang selalu lebih penting ?

Mengenai musuh, dalam sebuah pertemuan, mereka ditanya oleh Melmoth, domba yang telah lama menghilang. Siapa musuh terbesar mereka ? Tukang daging, Gabriel (si gembala baru), Si Pemburu, Srigala, embikan domba-domba itu bersamaan. Ada begitu banyak musuh akhir-akhir ini hingga susah menentukan mana yang terburuk dari antara mereka. Salah ! Teriak Melmoth, musuh terbesar adalah diri kalian sendiri. Gemuk dan malas, pengecut dan penakut, tak mau berpikir dan berpikiran sederhana (simple minded), itu semua adalah kalian ! Melmoth domba yang sering berkelana ini, memberi satu resep untuk mengatasi "musuh" dalam diri mereka sendiri, yaitu dengan cara belajar menaruh perhatian (pay attention), katanya "pay attention will help you to track down the two legs".

Bukankah hal ini sering pula terjadi pada kita, yang berkaki dua ini ? Bukankah diri kita sendiri adalah musuh terbesar kita? Persis seperti yang dikatakan Melmoth: gemuk, malas, pengecut, penakut, tak mau mikir dan simple minded ! Dan lebih-lebih lagi, bukankah kita sering meremehkan orang lain dan sekeliling kita, tak mau memberi perhatian, sibuk dengan diri sendiri ? Mungkin ini saatnya untuk berhenti sejenak di akhir tahun ini dan memulai tahun baru dengan belajar menaruh perhatian - pay attention. Pay attention will help you to tract down all of your enemies (read difficulties) ! That's what Melmoth said..

Turutilah...


Selamat Tahun Baru 2009
Berlin, 31 Desember 2008