Rabu, 31 Desember 2008

Three Bags Full - A Sheep Detective Story

Leonie Swann

Pada suatu pagi yang cerah, sekumpulan domba menemukan gembala mereka, George, tergeletak tak bernyawa. Tubuhnya ditikam dengan sekop di padang gembalaanya. Kawanan domba ini, bukanlah kawanan domba biasa. Mereka adalah kawanan domba yang cerdik, setiap malam semasa hidupnya George selalu membacakan buku-buku untuk mereka. Aneka kisah dari buku telah mereka dengarkan, dari roman, detektif hingga obat-obatan. Karena itu tak mengherankan jika mereka mempertanyakan bagaimana mungkin George yang kemarin mereka temui sehat saat ini membujur kaku tak bernafas ? Siapa yang membunuhnya ? Mengapa dia dibunuh ?

Miss Maple, domba tercerdik di antara kawanan itu, atau bahkan di dunia ini, memimpin kawan-kawannya untuk melakukan penyelidikan terhadap pembunuhan gembala mereka. Ini adalah plot dari buku "Three Bags Full". Namun, melalui sudut pandang para domba ini, Leonie Swann, yang berlatar belakang pendidikan philosophy, psikologi dan sastra Inggris , menebarkan pertanyaan-pertanyaan philosophical secara jenaka dan ringan.

Salah satu petikan percakapan yang menggelitik terjadi ketika Kate, istri George, dan Pak Pendeta (a black-clad man with a stiff collar round his neck and a strikingly long nose) datang mengunjungi padang gembalaan itu keesokan harinya. Kate mengaku pada Pak Pendeta, bahwa George memang orang yang sulit dimengerti. Pak Pendeta menimpali, ya memang George bukanlah orang yang mudah bergaul, dia adalah jiwa yang terhilang, anak domba yang tersesat (he was a lost soul, a lamb go astray), tetapi Tuhan (the Lord) yang maha pengampun telah memanggilnya pulang ke rumahNya. Lalu, Pak Pendeta mengatakan, domba-domba ini akan diberikan kepada siapa ? Kepada Ham si penjual daging ? Kate tak setuju, domba-domba ini tak membutuhkan siapa-siapa, katanya. Pak Pendeta mengatakan domba membutuhkan gembala. Tapi Ham bukanlah gembala yang baik, dia tak akan merawat (care) domba-domba ini, kata Kate. Ada banyak cara untuk menaruh perhatian (caring) pada seseorang dengan kasih (love) atau dengan kekerasan (rigor), dengan kata-kata (word) atau dengan pedang (sword), begitulah sabda Tuhan (Lord), kata Pak Pendeta. Namun Kate tetap tak menghendaki domba-domba ini diberikan pada Ham. Mendengar hal ini, domba-domba yang semula ketakutan mendengar kalimat "diberikan kepada penjual daging (the butcher)" disebut, menjadi tenang kembali. Ketika mereka hendak pulang, Pak Pendeta memberikan penghiburan pada Kate, tabahlah nak katanya, dan dia mengambil 1 ayat dari Mazmur 23: Tuhan adalah Gembalaku, tak akan kekurangan aku (The Lord is my shepherd, I shall not want...), dan pulanglah mereka berdua....

Setelah itu, para domba yang mendengar seluruh percakapan tadi menjadi bingung, siapakah Tuhan ini (who is the Lord ?). Othello, salah satu dari mereka mengatakan "aku tak mau the lord dari orang itu menjadi gembalaku" (I wouldn't want that lord of his to be my shepherd). Ya, timpal yang lain. Lagian, George bukanlah anak domba (George was not a lamb), kata Heather, siapa sih pria itu ? Kelihatannya dia tak suka dengan George, aku tak suka dengan pria itu dan juga dengan "pria" yang lain, "the lord" yang sering disebut-sebut tadi. Jangan-jangan "the lord" ini yang membunuh George, dia membawa George ke rumahnya, pertama-tama mereka bertengkar dengan kata-kata (words) lalu menggunakan pedang (sword), hanya karena pedang tak ada ditangan maka yang digunakan adalah sekop. Siapa the lord ini ? Seekor domba mengatakan, oh, dia adalah anak domba (He is a lamb), tapi yang lain langsung protes, bukan dia adalah seorang gembala (He is a shepherd). Lalu siapakah pria itu tadi ? Mopple, domba yang lain, mengatakan, aku ingat dia. Suatu hari ketika aku masih anak domba, aku dibawa George ke rumah orang itu dan ketika sampai di sana, dia mengatakan selamat datang di rumah Tuhan (welcome to the house of God). Jadi dia itu adalah "God", demikian kesimpulan Mopple dan para domba yang lain tentu menyetujuinya. Tak mudah memahami manusia kata mereka, apakah mereka punya jiwa ? Tentu saja tidak, kata para domba itu, mereka tak punya 4 kaki seperti kita......

Percakapan-percakapan ini terasa lucu dan janggal, suatu yang lazim jika dipandang oleh manusia terasa aneh jika seolah-olah domba yang memikirkan. Bukankah, sesuatu yang lazim buat kita juga tak lazim buat orang lain ? Seringkali kita beranggapan bahwa orang lain harus berpandangan sama seperti kita bukan ? dan jika dia berbeda dari kita, kita menganggap dia aneh.

Membaca buku ini juga membuat kita merenung, bagaimanakah hidup ini jika kita ditinggal oleh "Gembala" kita ? Merenung dari percakapan-percakapan yang diutarakan oleh para domba, merasakan ketakutan para domba terhadap musuh-musuh mereka.

Beberapa renungan menarik teringkas di sini. Salah satu renungan itu tersirat pada satu penggalan cerita ketika dalam misi penyelidikan kematian George, Othello pergi ke gereja (the house of God). Saat dia akan memasuki pintu gereja itu, Othello ragu untuk melangkah. Ada satu kalimat yang terngiang-ngiang di telinganya. Dalam hidup ini selalu ada dua jalan: jalan untuk masuk dan jalan untuk kembali (The way to go in and the way to go back) dan jalan untuk kembali selalu lebih penting (The way to go back is always more important). Yah, kemanapun kaki ini melangkah, bukankah jalan untuk pulang selalu lebih penting ?

Mengenai musuh, dalam sebuah pertemuan, mereka ditanya oleh Melmoth, domba yang telah lama menghilang. Siapa musuh terbesar mereka ? Tukang daging, Gabriel (si gembala baru), Si Pemburu, Srigala, embikan domba-domba itu bersamaan. Ada begitu banyak musuh akhir-akhir ini hingga susah menentukan mana yang terburuk dari antara mereka. Salah ! Teriak Melmoth, musuh terbesar adalah diri kalian sendiri. Gemuk dan malas, pengecut dan penakut, tak mau berpikir dan berpikiran sederhana (simple minded), itu semua adalah kalian ! Melmoth domba yang sering berkelana ini, memberi satu resep untuk mengatasi "musuh" dalam diri mereka sendiri, yaitu dengan cara belajar menaruh perhatian (pay attention), katanya "pay attention will help you to track down the two legs".

Bukankah hal ini sering pula terjadi pada kita, yang berkaki dua ini ? Bukankah diri kita sendiri adalah musuh terbesar kita? Persis seperti yang dikatakan Melmoth: gemuk, malas, pengecut, penakut, tak mau mikir dan simple minded ! Dan lebih-lebih lagi, bukankah kita sering meremehkan orang lain dan sekeliling kita, tak mau memberi perhatian, sibuk dengan diri sendiri ? Mungkin ini saatnya untuk berhenti sejenak di akhir tahun ini dan memulai tahun baru dengan belajar menaruh perhatian - pay attention. Pay attention will help you to tract down all of your enemies (read difficulties) ! That's what Melmoth said..

Turutilah...


Selamat Tahun Baru 2009
Berlin, 31 Desember 2008

Kamis, 13 November 2008

My Name is Red

Orhan Pamuk

Orhan Pamuk, pemenang Nobel Kesusastraan 2006, menuliskan novel kriminal ini dengan cara yang tidak lazim dituliskan para novelis yang lain. Lazimnya sebuah buku mengambil sudut pandang sebagai orang pertama, "aku", atau orang ketiga, "si pendongeng cerita". Buku ini memiliki sudut pandang yang berganti-ganti pada tiap babnya.

Buku yang diawali dengan judul "I am a corpse" - "Aku adalah mayat" menampilkan sebuah kisah ketika "seorang" mayat dapat menceritakan apa yang terjadi pada dirinya dan harapan agar pembunuhnya dapat ditemukan dengan janji "dia" akan menceritakan apa yang terjadi setelah kematian. Melalui judul ini pula, Pamuk memulai kisah thrillernya.

Selain menjadi "mayat", pembaca dibawa menjadi "anjing".. sesuatu yang aneh. Sang anjing berkata, karena kamu manusia adalah binatang buas yang kurang rasional bisa dibandingkan aku, kamu berkata pada dirimu sendiri "Anjing tidak berbicara". Anjing berbicara, tetapi hanya kepada siapapun yang tahu bagaimana cara mendengar. Dalam sudut pandang anjing ini, persoalan tentang haram dan najis dipertanyakan oleh si anjing. Siapa yang menajiskan
anjing ? Kenapa anjing selalu diusir dan dipukuli dengan sapu lidi agar keluar dari pekarangan rumah ataupun masjid ? Lebih mengherankan lagi, sang anjingpun mengamati perbedaan antara anjing yang berada di Istanbul, yang bebas berkeliaran dan anjing yang berada di Eropa, yang dikekang dengan rantai dan hanya bisa mengucapkan "hi" pada kawannya dari jarak jauh saja, cukup menggelitik. Melalui anjing kita akan diajak merenung apa arti kebebasan, kenapa mengharamkan ataupun menajiskan sesuatu, jika Tuhan sang pencipta tak pernah mengharamkannya.

Pamuk menempatkan pembaca bukan saja sebagai mayat, ataupun anjing, bahkan dia pun menempatkan pembaca sebagai pembunuh dalam kisah ini... sungguh cara bercerita yang luarbiasa tak lazim bukan ?

Membaca buku ini pertama kali, mungkin anda akan merasa sulit memahami maksud Pamuk dalam bercerita. Namun demikian setelah memahaminya, anda akan dibawa Pamuk melalui kaleidoskop berwarna-warni dan dalam, mempesona dan menakjubkan. Setiap lembar penuh dengan keindahan kalimat yang patut untuk direnungkan .

Menjadi Tua

Si Pembaca Buku

Menjadi tua membuatku semakin terikat dengan rumahku. Aku menjadi seperti kura-kura yang membawa rumahnya kemanapun dia pergi. Kadang akupun takut menyembulkan kepalaku melihat dunia luar yang penuh warna itu dan memilih mendekam dalam rumahku. Aku menemukan dermagaku, merapatkan kapalku dan enggan untuk pergi jauh lagi. Namun, seringkali aku membuat kesalahan, egoku yang terlalu tinggi, rasa sombong dan merasa bisa persis seperti anak-anak yang berumur 4 tahun terkadang membuatku menerima hukuman untuk meninggalkan kenyamananku itu... Ah... kesombongan, apapun bentuknya tetaplah kesombongan walaupun dia terbungkus dengan segala kerendahan hati tetapi tetaplah seperti kata temanku "kesombongan itu seperti orang yang merendahkan diri di atas menara"....

Menjadi tua, tidak membuatku menyesali kesalahan-kesalahan masa mudaku. Kesalahan-kesalahan itu tak bisa diperbaiki, dia hanya bisa dijadikan legenda bagi diri sendiri, begitu kata Coelho. Andaikan aku diberi pilihan untuk mengulang masa laluku, mungkin aku bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah kulakukan, tetapi aku yakin aku pasti membuat kesalahan-kesalahan yang lain. Tentu aku tidak ingin menjadi seperti Sisyphus dalam mitology Yunani. Dia dihukum menggelindingkan batu yang besar ke puncak bukit yang terjal, namun sebelum batu itu sampai di puncak, sang dewa menggelindingkan batu itu ke bawah lagi dan Sisyphus harus mulai lagi menggelindingkan batu itu ke puncak. Seperti itulah aku pikir, jika aku diberi kesempatan untuk mengulang masa laluku. Aku menjadi muda lagi, membuat kesalahan lagi, lalu aku menjadi tua dan ingin memperbaiki kesalahan, aku berharap menjadi muda lagi dan seterusnya.... Lantas...., kapan hidupku akan berhenti jika hal seperti itu terjadi.

Aku mensukuri hidupku, apapun yang terjadi... aku berbuat kesalahan, aku berbuat kebaikan.
Aku mensukuri bahwa hidupku tidak ditimbang atas dasar kesalahan dan kebaikanku, tetapi atas dasar kemurahan Sang pemberi hidup yang menjanjikan keabadian setelah kematian.

Berlin, 9 November 2008

Senin, 13 Oktober 2008

Bank Kaum Miskin

Kisah Yunus Grameen Bank Memerangi Kemiskinan

Buku ini merupakan autobiography dari Mohammad Yunus, penggagas dan pendiri Grameen Bank (Grameen berarti pedesaan) serta pemenang Nobel perdamaian 2006. Kisah Yunus diawali dari masa kecil yang bahagia, walaupun keluarga ini mengalami prahara, yaitu ketika sang Ibu menjadi gila, namun keluarga ini tetap utuh. Yunus mendapatkan Fullbright untuk melanjutkan Ph.D di Colorado Boulder, USA. Dia pulang ke Bangladesh, ketika negeri ini mulai memisahkan diri dari Pakistan dan menjadi Dekan di Fakultas Ekonomi, Universitas Chittagong.

Hal pertama yang menarik perhatian Yunus ketika mondar-mandir dari rumahnya ke kampus adalah Desa Jobra yang selalu dilintasinya. Dia memperhatikan lahan-lahan tandus di sekitar desa yang ternyata disebabkan tiadanya irigasi. Ketiadaan irigasi ini disebabkan karena faktor managemen yang salah, sehingga pompa-pompa irigasi yang sudah dibeli dengan mahal tidak digunakan. Yunus menyelesaikan masalah ini dengan program yang disebutnya “Pertanian Tiga Pihak”. Yang dimaksud dengan tiga pihak di sini adalah Yunus, petani pemilik sawah, dan petani penggarap sawah. Yunus menyediakan bibit, mengajarkan sistem pertanian yang baik dan memperbaiki pompa, petani meminjamkan (pemilik) sawah dan menggarapnya (penggarap). Tak ada halangan yang berarti bagi Yunus, walaupun dia adalah seorang ekonom, dia mau belajar ilmu pertanian dan bahkan mempraktekannya langsung di sawah.Walaupun program ini berhasil, namun program ini menguak sebuah masalah yang tidak pernah Yunus perhatikan sebelumnya. Setelah padi dipanen, diperlukan tenaga buruh untuk mengirik gabah dari batangnya. Pekerjaan membosankan ini dikerjakan oleh kaum perempuan melarat yang jika tidak punya pekerjaan akan mengemis. Hidup yang mengerikan: hanya demi 40 sen (USD), mereka memanfaatkan bobot tubuh dan gerakan kaki tanpa alas yang melelahkan itu selama 10 jam sehari! Kaum perempuan itu banyak yang janda karena suaminya meninggal, cerai atau suaminya meninggalkannya pergi dengan anak-anak yang harus diberinya makan. Mereka bahkan terlalu miskin untuk menjadi buruh tani. Mereka tak punya tanah, tak punya aset dan tak punya harapan. Jelaslah bagi Yunus, programnya hanya menguntungkan petani kaya saja, namun si miskin tetaplah miskin.

Tahun 1976, Yunus mulai mengunjungi rumah tangga paling miskin di Jobra. Bersama seorang temannya, dia bertemu dengan Sufiya Begum, seorang wanita miskin, berumur 21 tahun. Sufiya adalah perajin bangku bambu. Dia berhutang $22 sen untuk membeli bambu dan setelah dijual dia hanya memperoleh keuntungan 2 sen. Hal ini dikarenakan dia harus menjual kembali bangku bambu kepada mereka yang memberinya pinjaman. Kenyataan ini mengejutkan Yunus. “Di ruang kuliah saya berteori mengenai jumlah miliaran dolar, tapi di sini, di hadapan mata saya, masalah hidup-mati ditentukan oleh sejumlah recehan. Ini tidak benar. Mengapa perkuliahan di kampus tidak mencerminkan kenyataan hidup yang dihadapi Sufiya?” Yunus marah melihat hal ini, “Saya marah, marah pada diri sendiri, marah pada Fakultas Ekonomi saya dan pada ribuan professor pintar yang tidak pernah mencoba membahas masalah ini dan mengatasinya.”

Dia menyuruh mahasiswinya untuk mencatat ada berapa banyak wanita seperti Sufiya di Jobra. Menurut catatat ada 42 orang, Yunus meminjamkan 27$ kepada 42 orang tersebut. Mereka bisa membayar utang-utangnya pada para pedagang dan menjual produknya dengan harga yang baik. Mereka tidak perlu membayar bunga dan boleh membayar kapan saja mereka mau. Tetapi, Yunus merasa bersalah karena menjadi bagian dari masyarakat yang tidak bisa menyediakan 27$ bagi 42 orang yang punya ketrampilan untuk mempertahankan hidupnya. Dia menyadari apa yang dia kerjakan tidak memadai dan merasa perlu menjawab masalah tadi secara institusional. Yang dibutuhkan adalah lembaga yang bisa memberi pinjaman pada mereka yang tidak punya apa-apa.

Inilah awal dari perjuangan Moh. Yunus, untuk mendirikan bank bagi kaum miskin dan buta huruf. Tidak ada bank yang mau memberikan mereka pinjaman, karena tidak ada jaminan yang mereka punya. Yunus berargumen, nyawa mereka adalah jaminan yang mereka punya. Bagi orang miskin, uang pinjaman itu penting untuk bertahan hidup. Mereka akan berusaha keras untuk mampu membayar pinjaman tersebut agar mendapatkan pinjaman kembali.

Bacalah buku ini, setelah itu anda akan memandang sekeliling anda dengan cakrawala yang berbeda !

Rabu, 20 Agustus 2008

Memakai baju orang lain

Pemikiran dari Samuel Mulya

Bagi saya, Hari Minggu terasa bukan seperti Hari Minggu jika tidak dilewatkan dengan membaca KOMPAS Minggu dan berbaring di kasur mendengarkan keroncong dari radio Wijaya. Hidup terasa nikmat, gayeng dalam istilah B. Jawa, dan seluruh kepenatan setelah sepekan bekerja terobati.

Ketika saya membaca KOMPAS, kolom Parodi dari Samuel Mulya merupakan bacaan pertama yang hampir selalu saya sikat dulu... Samuel Mulya, walaupun terkadang menulisnya vulgar, dia membukakan mata hati dan pikiran saya pada hal-hal yang ada disekitar saya tetapi tidak pernah saya perhatikan melalui parodinya... Salah satunya adalah episode yang saya simpulkan dengan judul "Memakai baju orang lain"... judul resmi di KOMPAS saya sudah lupa...

Samuel menuliskan kita sering sekali menggunakan identitas perusahaan tempat kita bekerja, ketika kita diminta identitas kita. Misalnya saja, Amir dari Bank Ding Dung (sebuah Bank International TOP dunia), bahkan membuat publik email address dengan identitas perusahaannya, amir_dingdung@yahoo.com. Jika seseorang tidak bekerja pada perusahaan-perusahaan berkelas, dia bahkan menggunakan identitas bosnya.

Saya pun memiliki pengalaman pribadi yang membuat saya teringat akan parodi Samuel Mulya ini. Suatu hari saya menulis email kepada ahli Statistik di Jawa Timur. Bapak yang baik hati ini, menjawab email saya dan mengatakan bahwa beliau sedang merencanakan untuk membuat blog tentang belajar statistik dan menjawab beberapa pertanyaan saya yang lain dengan men-cc-kan ke salah seorang anak buahnya yang lebih paham akan jawaban dari pertanyaan teknis itu. Sayapun membalas email beliau, dan mengatakan jika diperbolehkan suatu hari nanti saya ingin menyumbang tulisan di blog beliau. Kali ini saya mendapatkan jawaban dari sang anak buah, dan dia menuliskan, bahwa kalau saya mau menyumbang tulisan saya harus mendapatkan ijin dari beliau... Tentu saja saya tersenyum dengan jawaban seperti ini, si empunya blog tidak melarang saya menyumbang tulisan, tetapi si anak buah memberi saya peringatan bahwa "harus ada ijin khusus"...

Ketika kita berhadapan dengan orang-orang yang memakai baju orang lain, seringkali mereka ini lebih "kejam" daripada para bos, menunjukkan dirinya lebih "berkuasa" dari si bos dan merasa dirinya "mengetahui semua aturan" dalam perusahaan. Bahkan, kemarin saya merasa sangat jengkel dan putus saya ketika harus menghadapi seorang sekretaris yang menggunakan baju orang lain ini... Semua pertanyaan saya dijawabnya "TIDAK BISA" ... Saya seperti menghadapi tembok yang memantulkan semua bola yang saya lemparkan kembali ke diri saya sendiri.

Saya masih merasa lega dengan apa yang saya hadapi akhir-akhir ini, karena ada yang lebih dahsyat lagi daripada sekedar memakai baju perusahaan ataupun memakai baju si bos. Yang lebih dahsyat lagi adalah bila kita memakai baju "Tuhan". Bukankah seringkali kita menghakimi orang lain dengan mengatakan melakukan ini dan itu berdosa ? Merokok haram, membaca buku ini dilarang karena buku ini melanggar hukum agama dan merusak keimanan kita ! Siapa sih yang seharusnya menentukan ini dosa atau itu haram atau membaca buku S akan merusak keimanan kita ? Apakah kita tidak memakai baju "Tuhan" ketika kita mengatakan tentang hal itu ?

Samuel Mulya, memberikan kearifan tersendiri dalam tulisannya itu. Suatu saat baju itu akan usang, dan dia akan digantikan dengan baju yang baru atau dibuang. Ketika identitas yang kita gunakan itu hilang, bisakah kita berdiri sendiri sebagai seorang pribadi mandiri yang memakai baju kita sendiri ?

Sabtu, 16 Agustus 2008

Mind Without Fear

Rabindranath Tagore

Where the mind is without fear and the head is held high;
Where knowledge is free;
Where the world has not been broken up
into fragments by narrow domestic walls;
Where words come out from the depth of truth;
Where tireless striving stretches its arms towards perfection;
Where the clear stream of reason
has not lost its way into the dreary desert sand of dead habit;
Where the mind is led forward by thee into ever-widening thought and action---
Into that heaven of freedom, my Father, let my country awake.

Jumat, 01 Agustus 2008

The Brother Karamazov

Fyodor Dostoevsky

Fyodor Pavlovich, seorang ayah berumur 55 tahun, badut, hidup dengan membonceng orang lain, memiliki 3 orang anak laki-laki dari 2 perkawinan dan seorang anak haram yang dipekerjakan menjadi pelayannya, mati terbunuh. Anak tertuanya Dmitri Fyodorovich Karamazov menjadi tertuduh dari pembunuhan ini. Benarkah ?

Novel yang dibangun dengan plot yang sangat komplex, seorang ayah dan anak memperebutkan cinta Grushenka wanita yang mampu memikat hati banyak pria. Persaingan dalam memperebutkan cinta Grushenka inilah yang membawa Dmitri menjadi tertuduh utama terbunuhnya sang ayah. Dmitri, seorang yang sangat mirip dengan ayahnya, orang yang suka berhura-hura dan menghambur-hamburkan uang, namun miskin. Posisi inilah menyudutkan dirinya sebagai pembunuh, untuk mendapatkan harta dan wanita idaman sang ayah.

Pada level yang lebih dalam, novel ini menceritakan tentnag drama spiritual, perjuangan moral terhadap keyakinan, keraguan, rasional, dan kehendak bebas (free will). Setiap karakter mewakili
setting ini secara unik. Ivan Karamazov, anak kedua dari perkawinan kedua, seorang yang sangat rasionalis, dan ateis. Dia merasa terganggu akan penderitaan tak masuk akal yang terjadi di dunia ini. Ivan, menyatakan:
"It's not God that I don't accept, Alyosha, only I most respectfully return him the ticket."

Sebagai counter balance dari karakter Ivan ini, Dostoevsky menampilkan pahlawannya, Alexei Karamasov. Si bungsu dalam keluarga, lain dari kedua kakaknya, Alexei hidup sebagai seorang biarawan. Namun akhirnya dia diutus oleh sang ketua biarawan untuk meninggalkan biara untuk menyelesaiakan masalah dalam kehidupan keluarganya.

Karamasov yang terakhir, tentunya adalah si anak haram, Smerdyakov, sang juru masak. Penderita epilepsi, seorang pemurung dan penyendiri. Smerdyakov mengagumi Ivan dan iapun menjadi atheis.

Satu dari keempat anak Karamasov ini adalah pembunuh, benarkah Dmitri pembunuhnya ? Semua bukti menunjuk bahwa Dmitri adalah pembunuh ayahnya, bisakah seorang pengacara top membebaskan Dmitri dari tuduhan ini ? Argumentasi apa yang dibangunnya dalam pembelaan ini ?

Satu pembelaan yang sangat berkesan buat saya ketika membaca buku ini adalah, ketika sang pengacara membawa pengunjung persidangan melihat ke masa lalu. Dia mengatakan, "Aku bertemu dengan anak ini, Dmitri, ketika dia masih bayi. Bayi yang hanya mengunakan popok itu dibiarkan berkeliaran di kebun rumahnya. Apakah seorang yang mengaku sebagai ayah, boleh dipanggil sebagai ayah, jika dia tidak pernah berperan sebagai ayah yang benar ?"

Pertanyaan ini menyadarkan kita untuk hidup menurut tuntutan yang diberikan pada setiap panggilan yang mana kita disebut, baik sebagai seorang ayah, seorang ibu, seorang paman, seorang bibi, seorang guru, ataupun yang lain.

Novel setebal lebih dari 1000 halaman ini, patut dibaca dan direnungkan... Doestoevsky, mengekplorasi keberadaan Tuhan, kebenaran alami, pentingnya memaafkan melalui aksi dari setiap karakter pada novelnya : The Brother Karamasoz... Bacalah...

Selasa, 08 Juli 2008

Father Sergius*

Leo Tolstoy

Kisah ini diawali dengan cerita kesuksesan Prince Stepan Kasatsky dalam karier militer dan kehidupannya sebagai socialite. Kasatsky, digambarkan sebagai seorang yang brilliant, dapat dipercaya, tak suka berfoya-foya maupun kecanduan minuman keras. Lebih dari itu, dalam segala hal dia selalu berusaha keras agar berhasil dengan sempurna dan tentu saja dia selalu mendapatkan pujian dan decak kekaguman. Keinginan kuat yang memenuhi hidupnya adalah selalu ingin membuat dirinya berbeda dari yang lain, menjadi yang terbaik.

Satu malam menjelang hari pernikahannya, Katsatsky mendengarkan pengakuan mengejutkan dari tunangannya. Sang tunangan, Countest Korotkova, ternyata adalah bekas gundik Tsar Nicholas I, raja yang di abdinya dengan sepenuh hati dan dicintainya. Hal ini tentu saja tak dapat diterima oleh Kasatsky, seorang pria yang menghargai kemurnian dan kesucian pernikahan. Dengan perasaaan marah dan kecewa, Katastsky mengundurkan diri dari karier militernya dan menjadi seorang biarawan.

Sebagai seorang biarawan, Father Sergius – Katsatsky, tetap memiliki passion yang kuat untuk membuat dirinya berbeda dari biarawan yang lain. Dikejarnya kesucian, dicarinya Tuhan dengan sepenuh hatinya. Dia hidup menyendiri dalam sebuah sel terpencil, menjadi pertapa yang hidupnya hanya untuk berdoa dan berpuasa. Ingin dicapainya kesempurnaan hidup, hingga akhirnya setelah bertahun-tahun hidup sebagai pertapa, Father Sergius terkenal karena memiliki kemampuan untuk mendatangkan miracle.

Sang pertapapun mulai dikunjungi banyak orang yang mencari kesembuhan dan keajaiban. Namun demikian tidak semua orang mencari keajaiban itu. Di suatu malam, datanglah wanita yang menggoda imannya, dan Father Sergius tak mampu menahan godaan itu. Sekali lagi dia marah, dipotongnya jarinya dengan kapak, dan dicukurnya rambutnya yang panjang. Sekali lagi pula dia meninggalkan kehidupan “mapan“ nya. Diambilnya pakaian petani dan pergilah dia berkelana menyusuri ladang, bukit dan sungai. Dalam keputusasaannya, Sergius ingin mengakhiri hidupnya. Kegalauan hatinya tergambar dalam suasana yang dituliskan Tolstoy dalam potongan kalimat ....

It was early morning, half an hour before sunrise. All was damp
and gloomy and a cold early wind was blowing from the west. ’Yes,
I must end it all. There is no God. But how am I to end it? Throw
myself into the river?
I can swim and should not drown. Hang myself ?
Yes, just throw this sash over a branch.’ This seemed so feasible and so easy that he felt horrified. As usual at moments of
despair he felt the need of prayer. But there was no one to pray to.There was no God.

Kelelahan yang luar biasa akhirnya membuatnya tertidur, ketika dia sadar dijumpainya seorang anak yang membawa Sergius menemukan sebuah rumah. Di situlah dia bertemu Pashenka. Di situlah pula Sergius menemukan sejatinya, ketika dia bergaul dan melihat kehidupan Pashenka ...dan dengan kerendahan hati diakuinya bahwa dirinya selama ini hanyalah seorang pendosa....

’Only not Sergius, or Father Sergius, but a great sinner, Stepan Kasatsky–a great and lost
sinner. Take me in and help me!’

Sergius akhirnya menyadari bahwa Tuhan yang dicarinya dengan sepenuh hati dengan menjadi pertapa, mulai menampakkan DiriNya ketika Sergius merendahkan diri. Tak ditunggunya lagi pujian dan ucapan terima kasih ketika dia dapat menolong orang lain baik melalui nasihat ataupun melalui kemampuannya dalam membaca dan menulis, atau keberhasilannya mendamaikan orang lain yang bertengkar.

Kasatsky, seorang yang marah dan putus asa, melampiaskan kemarahan dengan menjadi biarawan. Dikejarnya kesempurnaan, dikejarnya kesucian, dijadikannya dirinya seorang pertapa. Ditutupnya dunia luar rapat-rapat. Yang didapat hanyalah kejatuhan dalam pencobaan, walaupun dia berusaha menghapus rasa berdosa dengan memotong jarinya dengan kapak, mencukur rambut dan menghilang dari pertapaan... menjadi gelandangan, semua itu tak mampu menghilangkan kegalauan hati....tak dijumpainya Tuhan yang selama ini dicari dengan sepenuh hati.

Tuhan ditemukan, bukan karena dia sempurna, bukan karena dia suci, bukan karena dia menutup diri dari dunia luar, tetapi ketika dia merendahkan diri dan membuat dirinya berguna untuk orang lain tanpa mengharapkan pujian ataupun penghargaan.


* A Short Story, dapat di download di www.gutenberg.org
Catatan:
Aku membaca kisah ini ketika aku bosan mendengarkan rapat yang bahasanya tak kumengerti seutuhnya. Walaupun diadakan disebuah rumah cantik di daerah perkebunan anggur, tetaplah rapat itu menyiksaku.

Sabtu, 05 Juli 2008

Gunung Kelima

Paulo Coelho (The fifth mountain)
Buku ini diawali dengan catatan penulis yang memberikan latarbelakang perenungannya ketika menuliskan buku ini. Suatu petikan pengalaman yang mungkin pula kita alami, tertuang dalam pertanyaan Coelho ini :
" Setiap kali saya menganggap diri saya berhasil menguasai suatu situasi sepenuhnya, ada saja yang terjadi dan membuat saya terpuruk. Maka sayapun bertanya-tanya sendiri: Mengapa ? Mungkinkah saya ditakdirkan untuk selalu nyaris mencapai garis finis, tanpa pernah benar-benar melewatinya ?"

Gunung Kelima mengisahkan riwayat Elia ketika melarikan diri dari kejaran Izebel berdasarkan perenungan Coelho. Anda jangan bertanya ketika membacanya, kenapa saya tidak mendapatkan cerita ini di Sekolah minggu dulu ? Karena apa yang anda dapatkan di sekolah minggu dulu hanya menjadi latar belakang saja dari tulisan Coelho ini. Coelho akan menuntut kita untuk menemukan jawab dari pertanyaannya di atas. Melalui permasalahan yang dihadapi Elia dalam kehidupannya ketika menumpang di rumah Janda dari Sarfat. Coelho menuangkan inti dari perenungannya dalam percakapan antara Elia dengan Malaikat, ketika Elia sedang kebingungan berikut ini:

" Kenapa Dia yang menciptakan dunia memilih menggunakan tragedi untuk menuliskan buku takdir-Nya ? Seruan Elia bergema diseluruh lembah dan kembali lagi kepadanya. Engkau tidak tahu yang kau ucapkan. Sahut malaikat itu. Tidak ada tragedi, yang ada hanyalah yang tak terhindarkan: engkau tinggal memilah-milah mana yang sementara dan mana yang abadi.
" Manakah yang sementara ?" Tanya Elia
"Yang tak terhindarkan"
"Dan manakah yang abadi ?"
"Pelajaran-pelajaran yang dipetik dari yang tak terhindarkan itu"

Berapa sering garis finis yang nyaris anda capai, namun anda tak pernah benar-benar melewatinya ? Rasa sakit yang ditinggalkannya mengendap jauh dilubuk hati. Namun demikian satu-satunya solusi adalah melupakan masa lalu yang penuh keragu-raguan itu dan menciptakan sejarah baru untuk diri kita sendiri dengan tetap mengingat pada yang abadi itu. Dengan demikian kita akan kembali ke jalur legenda pribadi kita.

Lupakanlah yang sementara dan ingatlah yang abadi...

Surat dari Ibu

Asrul Sani


Pergi ke dunia luas anakku sayang

Pergi ke hidup bebas

Selama angin masih angin guritan

Dan matahari pagi menyinar daun-daunan

Dalam rimba dan padang hijau


Pergi kelaut lepas anakku sayang

Pergi ke alam bebas

Selama hari belum petang

Dan warna senja belum kemerah-merahan

Menutup pintu waktu lampau


Jika bayang telah pudar

Dan elang laut pulang ke sarang

Angin bertiup ke benua

Tiang-tiang akan kering sendiri

Dan nahkoda sudah tahu pedoman

Boleh engkau datang padaku


Kembali pulang anakku sayang

Kembali ke balik malam

Jika kapalmu telah rapat ke tepi

Kita akan bercerita

Tentang cinta dan hidupmu pagi hari

Veronika Memutuskan Mati

Paulo Coelho

(Veronica decides to die)

Terkadang hidup itu terasa begitu berharga ketika kita tahu bahwa kita akan segera kehilangan hidup kita.….

Coelho, mengangkat kisah tentang kehidupan di rumah sakit jiwa...Apakah gila itu ? Gila itu hanyalah bila kita tidak mengikuti aturan yang berlaku secara umum dalam masyarakat. Sebuah analogi menarik ditulis dalam buku ini dalam dongeng berikut:

Adalah sebuah negeri yang aman makmur dan sejahtera. Seorang penyihir jahat ingin mengacaukan negeri itu. Maka sang penyihir memberikan ramuan ke dalam sebuah sumur desa di negeri itu, sehingga siapapun yang meminum air sumur itu ia akan menjadi gila. Karena sumur itu adalah satu-satunya sumur di negeri itu, maka seluruh penduduk negeri itupun meminum airnya dan menjadi gila. Setelah itu mereka merasa raja yang memerintah mereka adalah orang aneh. Mereka mulai memprotesnya dan memaksa raja itu untuk turun tahta. Alangkah sedihnya hati sang raja, karena dia sudah tidak dapat mengendalikan lagi rakyatnya. Untuk itu dia bermaksud untuk mengundurkan diri. Sang ratu yang bijaksana datang menghampiri raja. Tuanku katanya, jika kita meminum air dari sumur yang sama seperti rakyat kita, maka kitapun tidak akan berbeda dengan mereka. Maka minumlah raja dan ratu negeri itu air dari sumur tadi dan setelah itu tidak ada yang aneh di negeri itu dan rakyat dapat menerima kembali rajanya. Gagalah usaha penyihir tadi untuk mengacaukan seluruh negeri.

Apakah anda merasa waras ? Ah belum tentu bukan ? …
Di rumah sakit jiwa …penghuninya adalah orang waras dan anda adalah orang gila :)

The Kite Runner

Khaleed Hoseinee


Buku ini mengambil setting di Afganistan, negeri asal si pengarang dan mengisahkan tentang persahabatan, pengkhianatan dan pengharapan. Adalah 2 bocah yang dibesarkan bersama dalam sebuah rumah, Amir Agha dan Hassan. Keduanya ditinggalkan oleh ibunya dan menyusu pada wanita yang sama ketika bayi. Amir anak sang majikan, ibunya meninggal ketika melahirkannya dan Hassan anak sang pelayan, ibunya lari meninggalkan ayahnya dengan pria lain.

Amir yang mewarisi sifat-sifat ibunya, suka akan sastra dan berperangai lembut, sedangkan ayahnya yang sangat sportif menginginkan anak seperti dirinya. Ketidakdekatan ayah dan anak ini sering menimbulkan rasa bersalah dalam diri Amir bahwa dia adalah pembunuh ibu yang sangat dicintai ayahnya.

Adalah sebuah layang-layang yang menjadi benang merah dalam cerita ini. Kompetisi layang-layang yang selalu diadakan di setiap musim dingin merupakan tradisi di Afganistan. Setiap anak akan menerbangkan layang-layangnya di udara pada kompetisi itu, dan layang-layang terakhir yang berada di udara adalah si pemenang. Selain itu, anak yang berhasil menangkap layang –layang terakhir yang terjatuh adalah si Juara pada kompetisi ini. Amir memandang, layang –layang inilah yang akan mampu mendekatkan dirinya dengan baba (ayahnya). Layang –layangnya harus menjadi pemenang dan dia menjadi juara. Hassan si setia kawan, adalah seorang pengejar layang—layang yang handal dia akan melakukan apapun untuk Amir majikannya. Namun Amir mengkhianati Hassan ketika Hassan sedang berjuang mendapatkan layang –layang terakhir itu untuknya. Rasa bersalah ini terbawa hingga Amir dewasa nanti.

Dari cerita layang-layang inilah kisah ini dibangun dengan sangat cantik, menggambarkan persahabatan, pengkhiatan dan penebusan. Dengan latar belakang Afganistan, negeri indah yang menjadi carut marut tak karuan akibat peperangan, kisah ini mengalir membawa pembacanya terhanyut dalam ruang dan waktu.

The Kite runner adalah sebuah buku yang setelah anda usai membacanya, kisahnya masih mengendap di dalam hati sanubari….