Orhan Pamuk
Orhan Pamuk, pemenang Nobel Kesusastraan 2006, menuliskan novel kriminal ini dengan cara yang tidak lazim dituliskan para novelis yang lain. Lazimnya sebuah buku mengambil sudut pandang sebagai orang pertama, "aku", atau orang ketiga, "si pendongeng cerita". Buku ini memiliki sudut pandang yang berganti-ganti pada tiap babnya.
Buku yang diawali dengan judul "I am a corpse" - "Aku adalah mayat" menampilkan sebuah kisah ketika "seorang" mayat dapat menceritakan apa yang terjadi pada dirinya dan harapan agar pembunuhnya dapat ditemukan dengan janji "dia" akan menceritakan apa yang terjadi setelah kematian. Melalui judul ini pula, Pamuk memulai kisah thrillernya.
Selain menjadi "mayat", pembaca dibawa menjadi "anjing".. sesuatu yang aneh. Sang anjing berkata, karena kamu manusia adalah binatang buas yang kurang rasional bisa dibandingkan aku, kamu berkata pada dirimu sendiri "Anjing tidak berbicara". Anjing berbicara, tetapi hanya kepada siapapun yang tahu bagaimana cara mendengar. Dalam sudut pandang anjing ini, persoalan tentang haram dan najis dipertanyakan oleh si anjing. Siapa yang menajiskan
anjing ? Kenapa anjing selalu diusir dan dipukuli dengan sapu lidi agar keluar dari pekarangan rumah ataupun masjid ? Lebih mengherankan lagi, sang anjingpun mengamati perbedaan antara anjing yang berada di Istanbul, yang bebas berkeliaran dan anjing yang berada di Eropa, yang dikekang dengan rantai dan hanya bisa mengucapkan "hi" pada kawannya dari jarak jauh saja, cukup menggelitik. Melalui anjing kita akan diajak merenung apa arti kebebasan, kenapa mengharamkan ataupun menajiskan sesuatu, jika Tuhan sang pencipta tak pernah mengharamkannya.
Pamuk menempatkan pembaca bukan saja sebagai mayat, ataupun anjing, bahkan dia pun menempatkan pembaca sebagai pembunuh dalam kisah ini... sungguh cara bercerita yang luarbiasa tak lazim bukan ?
Membaca buku ini pertama kali, mungkin anda akan merasa sulit memahami maksud Pamuk dalam bercerita. Namun demikian setelah memahaminya, anda akan dibawa Pamuk melalui kaleidoskop berwarna-warni dan dalam, mempesona dan menakjubkan. Setiap lembar penuh dengan keindahan kalimat yang patut untuk direnungkan .
Kamis, 13 November 2008
Menjadi Tua
Si Pembaca Buku
Menjadi tua membuatku semakin terikat dengan rumahku. Aku menjadi seperti kura-kura yang membawa rumahnya kemanapun dia pergi. Kadang akupun takut menyembulkan kepalaku melihat dunia luar yang penuh warna itu dan memilih mendekam dalam rumahku. Aku menemukan dermagaku, merapatkan kapalku dan enggan untuk pergi jauh lagi. Namun, seringkali aku membuat kesalahan, egoku yang terlalu tinggi, rasa sombong dan merasa bisa persis seperti anak-anak yang berumur 4 tahun terkadang membuatku menerima hukuman untuk meninggalkan kenyamananku itu... Ah... kesombongan, apapun bentuknya tetaplah kesombongan walaupun dia terbungkus dengan segala kerendahan hati tetapi tetaplah seperti kata temanku "kesombongan itu seperti orang yang merendahkan diri di atas menara"....
Menjadi tua, tidak membuatku menyesali kesalahan-kesalahan masa mudaku. Kesalahan-kesalahan itu tak bisa diperbaiki, dia hanya bisa dijadikan legenda bagi diri sendiri, begitu kata Coelho. Andaikan aku diberi pilihan untuk mengulang masa laluku, mungkin aku bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah kulakukan, tetapi aku yakin aku pasti membuat kesalahan-kesalahan yang lain. Tentu aku tidak ingin menjadi seperti Sisyphus dalam mitology Yunani. Dia dihukum menggelindingkan batu yang besar ke puncak bukit yang terjal, namun sebelum batu itu sampai di puncak, sang dewa menggelindingkan batu itu ke bawah lagi dan Sisyphus harus mulai lagi menggelindingkan batu itu ke puncak. Seperti itulah aku pikir, jika aku diberi kesempatan untuk mengulang masa laluku. Aku menjadi muda lagi, membuat kesalahan lagi, lalu aku menjadi tua dan ingin memperbaiki kesalahan, aku berharap menjadi muda lagi dan seterusnya.... Lantas...., kapan hidupku akan berhenti jika hal seperti itu terjadi.
Aku mensukuri hidupku, apapun yang terjadi... aku berbuat kesalahan, aku berbuat kebaikan.
Aku mensukuri bahwa hidupku tidak ditimbang atas dasar kesalahan dan kebaikanku, tetapi atas dasar kemurahan Sang pemberi hidup yang menjanjikan keabadian setelah kematian.
Berlin, 9 November 2008
Menjadi tua membuatku semakin terikat dengan rumahku. Aku menjadi seperti kura-kura yang membawa rumahnya kemanapun dia pergi. Kadang akupun takut menyembulkan kepalaku melihat dunia luar yang penuh warna itu dan memilih mendekam dalam rumahku. Aku menemukan dermagaku, merapatkan kapalku dan enggan untuk pergi jauh lagi. Namun, seringkali aku membuat kesalahan, egoku yang terlalu tinggi, rasa sombong dan merasa bisa persis seperti anak-anak yang berumur 4 tahun terkadang membuatku menerima hukuman untuk meninggalkan kenyamananku itu... Ah... kesombongan, apapun bentuknya tetaplah kesombongan walaupun dia terbungkus dengan segala kerendahan hati tetapi tetaplah seperti kata temanku "kesombongan itu seperti orang yang merendahkan diri di atas menara"....
Menjadi tua, tidak membuatku menyesali kesalahan-kesalahan masa mudaku. Kesalahan-kesalahan itu tak bisa diperbaiki, dia hanya bisa dijadikan legenda bagi diri sendiri, begitu kata Coelho. Andaikan aku diberi pilihan untuk mengulang masa laluku, mungkin aku bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah kulakukan, tetapi aku yakin aku pasti membuat kesalahan-kesalahan yang lain. Tentu aku tidak ingin menjadi seperti Sisyphus dalam mitology Yunani. Dia dihukum menggelindingkan batu yang besar ke puncak bukit yang terjal, namun sebelum batu itu sampai di puncak, sang dewa menggelindingkan batu itu ke bawah lagi dan Sisyphus harus mulai lagi menggelindingkan batu itu ke puncak. Seperti itulah aku pikir, jika aku diberi kesempatan untuk mengulang masa laluku. Aku menjadi muda lagi, membuat kesalahan lagi, lalu aku menjadi tua dan ingin memperbaiki kesalahan, aku berharap menjadi muda lagi dan seterusnya.... Lantas...., kapan hidupku akan berhenti jika hal seperti itu terjadi.
Aku mensukuri hidupku, apapun yang terjadi... aku berbuat kesalahan, aku berbuat kebaikan.
Aku mensukuri bahwa hidupku tidak ditimbang atas dasar kesalahan dan kebaikanku, tetapi atas dasar kemurahan Sang pemberi hidup yang menjanjikan keabadian setelah kematian.
Berlin, 9 November 2008
Langganan:
Postingan (Atom)