Leo Tolstoy
Kisah ini diawali dengan cerita kesuksesan Prince Stepan Kasatsky dalam karier militer dan kehidupannya sebagai socialite. Kasatsky, digambarkan sebagai seorang yang brilliant, dapat dipercaya, tak suka berfoya-foya maupun kecanduan minuman keras. Lebih dari itu, dalam segala hal dia selalu berusaha keras agar berhasil dengan sempurna dan tentu saja dia selalu mendapatkan pujian dan decak kekaguman. Keinginan kuat yang memenuhi hidupnya adalah selalu ingin membuat dirinya berbeda dari yang lain, menjadi yang terbaik.
Satu malam menjelang hari pernikahannya, Katsatsky mendengarkan pengakuan mengejutkan dari tunangannya. Sang tunangan, Countest Korotkova, ternyata adalah bekas gundik Tsar Nicholas I, raja yang di abdinya dengan sepenuh hati dan dicintainya. Hal ini tentu saja tak dapat diterima oleh Kasatsky, seorang pria yang menghargai kemurnian dan kesucian pernikahan. Dengan perasaaan marah dan kecewa, Katastsky mengundurkan diri dari karier militernya dan menjadi seorang biarawan.
Sebagai seorang biarawan, Father Sergius – Katsatsky, tetap memiliki passion yang kuat untuk membuat dirinya berbeda dari biarawan yang lain. Dikejarnya kesucian, dicarinya Tuhan dengan sepenuh hatinya. Dia hidup menyendiri dalam sebuah sel terpencil, menjadi pertapa yang hidupnya hanya untuk berdoa dan berpuasa. Ingin dicapainya kesempurnaan hidup, hingga akhirnya setelah bertahun-tahun hidup sebagai pertapa, Father Sergius terkenal karena memiliki kemampuan untuk mendatangkan miracle.
Sang pertapapun mulai dikunjungi banyak orang yang mencari kesembuhan dan keajaiban. Namun demikian tidak semua orang mencari keajaiban itu. Di suatu malam, datanglah wanita yang menggoda imannya, dan Father Sergius tak mampu menahan godaan itu. Sekali lagi dia marah, dipotongnya jarinya dengan kapak, dan dicukurnya rambutnya yang panjang. Sekali lagi pula dia meninggalkan kehidupan “mapan“ nya. Diambilnya pakaian petani dan pergilah dia berkelana menyusuri ladang, bukit dan sungai. Dalam keputusasaannya, Sergius ingin mengakhiri hidupnya. Kegalauan hatinya tergambar dalam suasana yang dituliskan Tolstoy dalam potongan kalimat ....
It was early morning, half an hour before sunrise. All was damp
and gloomy and a cold early wind was blowing from the west. ’Yes,
I must end it all. There is no God. But how am I to end it? Throw
myself into the river? I can swim and should not drown. Hang
Yes, just throw this sash over a branch.’ This seemed so
Kelelahan yang luar biasa akhirnya membuatnya tertidur, ketika dia sadar dijumpainya seorang anak yang membawa Sergius menemukan sebuah rumah. Di situlah dia bertemu Pashenka. Di situlah pula Sergius menemukan sejatinya, ketika dia bergaul dan melihat kehidupan Pashenka ...dan dengan kerendahan hati diakuinya bahwa dirinya selama ini hanyalah seorang pendosa....
’Only not Sergius, or Father Sergius, but a great sinner, Stepan Kasatsky–a great and lost
sinner. Take me in and help me!’
Sergius akhirnya menyadari bahwa Tuhan yang dicarinya dengan sepenuh hati dengan menjadi pertapa, mulai menampakkan DiriNya ketika Sergius merendahkan diri. Tak ditunggunya lagi pujian dan ucapan terima kasih ketika dia dapat menolong orang lain baik melalui nasihat ataupun melalui kemampuannya dalam membaca dan menulis, atau keberhasilannya mendamaikan orang lain yang bertengkar.
Kasatsky, seorang yang marah dan putus asa, melampiaskan kemarahan dengan menjadi biarawan. Dikejarnya kesempurnaan, dikejarnya kesucian, dijadikannya dirinya seorang pertapa. Ditutupnya dunia luar rapat-rapat. Yang didapat hanyalah kejatuhan dalam pencobaan, walaupun dia berusaha menghapus rasa berdosa dengan memotong jarinya dengan kapak, mencukur rambut dan menghilang dari pertapaan... menjadi gelandangan, semua itu tak mampu menghilangkan kegalauan hati....tak dijumpainya Tuhan yang selama ini dicari dengan sepenuh hati.
Tuhan ditemukan, bukan karena dia sempurna, bukan karena dia suci, bukan karena dia menutup diri dari dunia luar, tetapi ketika dia merendahkan diri dan membuat dirinya berguna untuk orang lain tanpa mengharapkan pujian ataupun penghargaan.
Catatan:
Aku membaca kisah ini ketika aku bosan mendengarkan rapat yang bahasanya tak kumengerti seutuhnya. Walaupun diadakan disebuah rumah cantik di daerah perkebunan anggur, tetaplah rapat itu menyiksaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar