Kisah Yunus Grameen Bank Memerangi Kemiskinan
Buku ini merupakan autobiography dari Mohammad Yunus, penggagas dan pendiri Grameen Bank (Grameen berarti pedesaan) serta pemenang Nobel perdamaian 2006. Kisah Yunus diawali dari masa kecil yang bahagia, walaupun keluarga ini mengalami prahara, yaitu ketika sang Ibu menjadi gila, namun keluarga ini tetap utuh. Yunus mendapatkan Fullbright untuk melanjutkan Ph.D di Colorado Boulder, USA. Dia pulang ke Bangladesh, ketika negeri ini mulai memisahkan diri dari Pakistan dan menjadi Dekan di Fakultas Ekonomi, Universitas Chittagong.
Hal pertama yang menarik perhatian Yunus ketika mondar-mandir dari rumahnya ke kampus adalah Desa Jobra yang selalu dilintasinya. Dia memperhatikan lahan-lahan tandus di sekitar desa yang ternyata disebabkan tiadanya irigasi. Ketiadaan irigasi ini disebabkan karena faktor managemen yang salah, sehingga pompa-pompa irigasi yang sudah dibeli dengan mahal tidak digunakan. Yunus menyelesaikan masalah ini dengan program yang disebutnya “Pertanian Tiga Pihak”. Yang dimaksud dengan tiga pihak di sini adalah Yunus, petani pemilik sawah, dan petani penggarap sawah. Yunus menyediakan bibit, mengajarkan sistem pertanian yang baik dan memperbaiki pompa, petani meminjamkan (pemilik) sawah dan menggarapnya (penggarap). Tak ada halangan yang berarti bagi Yunus, walaupun dia adalah seorang ekonom, dia mau belajar ilmu pertanian dan bahkan mempraktekannya langsung di sawah.Walaupun program ini berhasil, namun program ini menguak sebuah masalah yang tidak pernah Yunus perhatikan sebelumnya. Setelah padi dipanen, diperlukan tenaga buruh untuk mengirik gabah dari batangnya. Pekerjaan membosankan ini dikerjakan oleh kaum perempuan melarat yang jika tidak punya pekerjaan akan mengemis. Hidup yang mengerikan: hanya demi 40 sen (USD), mereka memanfaatkan bobot tubuh dan gerakan kaki tanpa alas yang melelahkan itu selama 10 jam sehari! Kaum perempuan itu banyak yang janda karena suaminya meninggal, cerai atau suaminya meninggalkannya pergi dengan anak-anak yang harus diberinya makan. Mereka bahkan terlalu miskin untuk menjadi buruh tani. Mereka tak punya tanah, tak punya aset dan tak punya harapan. Jelaslah bagi Yunus, programnya hanya menguntungkan petani kaya saja, namun si miskin tetaplah miskin.
Tahun 1976, Yunus mulai mengunjungi rumah tangga paling miskin di Jobra. Bersama seorang temannya, dia bertemu dengan Sufiya Begum, seorang wanita miskin, berumur 21 tahun. Sufiya adalah perajin bangku bambu. Dia berhutang $22 sen untuk membeli bambu dan setelah dijual dia hanya memperoleh keuntungan 2 sen. Hal ini dikarenakan dia harus menjual kembali bangku bambu kepada mereka yang memberinya pinjaman. Kenyataan ini mengejutkan Yunus. “Di ruang kuliah saya berteori mengenai jumlah miliaran dolar, tapi di sini, di hadapan mata saya, masalah hidup-mati ditentukan oleh sejumlah recehan. Ini tidak benar. Mengapa perkuliahan di kampus tidak mencerminkan kenyataan hidup yang dihadapi Sufiya?” Yunus marah melihat hal ini, “Saya marah, marah pada diri sendiri, marah pada Fakultas Ekonomi saya dan pada ribuan professor pintar yang tidak pernah mencoba membahas masalah ini dan mengatasinya.”
Dia menyuruh mahasiswinya untuk mencatat ada berapa banyak wanita seperti Sufiya di Jobra. Menurut catatat ada 42 orang, Yunus meminjamkan 27$ kepada 42 orang tersebut. Mereka bisa membayar utang-utangnya pada para pedagang dan menjual produknya dengan harga yang baik. Mereka tidak perlu membayar bunga dan boleh membayar kapan saja mereka mau. Tetapi, Yunus merasa bersalah karena menjadi bagian dari masyarakat yang tidak bisa menyediakan 27$ bagi 42 orang yang punya ketrampilan untuk mempertahankan hidupnya. Dia menyadari apa yang dia kerjakan tidak memadai dan merasa perlu menjawab masalah tadi secara institusional. Yang dibutuhkan adalah lembaga yang bisa memberi pinjaman pada mereka yang tidak punya apa-apa.
Inilah awal dari perjuangan Moh. Yunus, untuk mendirikan bank bagi kaum miskin dan buta huruf. Tidak ada bank yang mau memberikan mereka pinjaman, karena tidak ada jaminan yang mereka punya. Yunus berargumen, nyawa mereka adalah jaminan yang mereka punya. Bagi orang miskin, uang pinjaman itu penting untuk bertahan hidup. Mereka akan berusaha keras untuk mampu membayar pinjaman tersebut agar mendapatkan pinjaman kembali.
Bacalah buku ini, setelah itu anda akan memandang sekeliling anda dengan cakrawala yang berbeda !
Senin, 13 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar